Senin, 27 Desember 2010

Ayo Timnasku

Meraih Asa Yang Tertinggal
Tak pernah mengira Timnas kita kalah dalam laga melawan malaysia, 26/12 kemarin.Sungguh takdapat dipercaya, Timnas Indonesia dibantai dengan skor telak 3:0. Padahal dalam laga penyisihan, Timnas menang dengan meyakinkan 5:1. Tentunya ini menjadi pukulan telak bagi kita. Dalam hati kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi dengan Timnas kita? Adakah sesuatu yang salah pada Timnas kita?

Memang begitulah bola, selalu berputar, demikian dengan nasib Timnas kita. Baru saja diberi sebuah harapan, tapi seakan semua itu tiada artinya. Pesimislah yang tertinggal dalam benak kita. Sebenarnya asa itu masih ada, asalkan ada sebuah tindakan nyata yang sesegera mungkin dilalakukan terhadap insan sepak bola kita, khususnya Timnas. Masih ada kesempatan untuk mencapai semua itu, tentu dengan perjuangan yang tidak mudah. Jalan itu belum tertutup, masih terbuka lebar. 

Contoh Proposal Budaya


KAJIAN STRUKTURALISME DAN NILAI EDUKATIF
DALAM CERITA RAKYAT KABUPATEN PURWOREJO

PROPOSAL
 
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara multikultural. Keberagaman aspek budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia sangatlah majemuk. Hal ini dapat disimak dari kakayaan sastra yang ada, termasuk di dalamnya cerita rakyat. Cerita rakyat yang merupakan tradisi leluhur untuk menyampaikan pesan moral yang sangat tinggi nilainya, tahun demi tahun semakin tidak berkumandang karena tidak dikisahkan lagi oleh orang tua saat meninabobokan anaknya maupun guru-guru sebelum mengakhiri pelajaran. Pendek kata cerita rakyat semakin tidak akrab dengan masyarakat pendukungnya.
Cerita Rakyat tiap-tiap daerah perlu digali dan dikaji dikarenakan melalui cerita rakyat suatu daerah , orang dapat mengetahui sejarah, pandangan hidup, adatistiadat, kepercayaan, politik, cita-cita, dan berbagai macam kegiatan daerah tersebut. Hal ini berarti dalam cerita rakyat tersirat kenyataan yang menggambarkan masyarakat pada masa lalu dan masa kini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin menjauhkan rasa cinta anak-anak terhadap cerita rakyat. Anak-anak lebih asyik duduk di depan TV daripada mendengarkan dongeng atau cerita rakyat di daerahnya. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa generasi muda sekarang telah kehilangan tradisi dongeng, tradisi tutur. Hal ini membuat cerita rakyat semakin dijauhi oleh generasi muda .

Kamis, 16 Desember 2010

FILOLOGI (Part 2)

FILOLOGI
(Sekilas Tentang Pengertian, Tujuan, Cara Kerja, Objek Studi, Hasil, dan Manfaatnya)
Oleh
Agus Mulyanto, Drs., M.Pd.

A. Pengertian Filologi
Kita ketahui bahwa sejarah perjalanan umat manusia telah dimulai sejak lama, secara pasti tidak diketahui berapa ribu atau berapa juta tahun yang lalu umur sejarah manusia di muka bumi ini dimulai. Bukti-bukti sejarah kehidupan manusia di masa lampau itu dapat kita temukan di masa kini . Banyak peninggalan nenek moyang yang bisa kita jumpai, baik dalam bentuk benda fisik seperti candi, prasasti, senjata, alat-alat rumah tangga, atau naskah, maupun dalam bentuk nonfisik seperti tradisi, budaya, pola pikir, dan sejenisnya. Sebagai manusia dan bangsa yang menghargai peninggalan nenek moyangnya, upaya mempelajari, melestarikan, dan menumbuhkembangkan warisan leluhur itu Kita lakukan.

Senin, 13 Desember 2010

Kritik Novel Jawa

Kritik sastra novel “Tambal-Njawa” Djilid I (1965)
karya Widi Widajat


Pada saat membaca cerita fiksi, misalnya membaca sebuah novel, maka tanpa terasa kita akan ikut terhanyut oleh jalannya cerita. Seolah-olah pembaca ikut mengalami sendiri pada apa yang diceritakan olehpengarang (Sumardjo, 1984: 54). Seperti halnya pada saat membaca novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat, maka pembaca seolah-olah mengalami semua kejadian yang dialami oleh Sumitro (tokoh utama). Cerita yang bersetting di daerah pedesaan, yaitu di sebuah desa yang bernama Desa Minggiran, Imogiri, sebelah Selatan kota Yogyakarta, membawa pembaca ikut mengalami kehidupan di sebuah desa, yang bebas dari hingar bingar kehidupan kota. Hal itulah yang membentuk kepribadian/watak tokoh utama dalam cerita ini ( Sumitro), yaitu seorang pemuda yang baik hati dan penolong (walaupun menjadi orang yang terpelajar dan hidup di Kota Yogyakarta), yang identik dengan sifat pemuda disebuah pedesaan, dimana rasa sosial masih tertanam dalam dihatinya.

Jumat, 10 Desember 2010

Filologi

Filologi dan Penelitian Teks-teks Keagamaan
Oleh Oman Fathurahman
 
Pendahuluan
Pendekatan filologi, sebagai salah satu sarana untuk menggali
khazanah keilmuan, khususnya khazanah pengetahuan lama, tampaknya
baru belakangan ini saja dilirik oleh civitas akademika IAIN, dan juga
UIN Jakarta. Jujur saja, sejauh ini, disiplin ilmu filologi, yang
mengkhususkan objek kajiannya pada naskah-naskah tulis tangan
(manuscripts), belum banyak berkembang di kalangan IAIN dan UIN,
meskipun UIN Jakarta konon merupakan salah satu pilot projectnya
Perguruan Tinggi Islam Negeri. Saya tidak tahu persis kenapa, yang jelas,
hingga saat ini, sulit menjumpai karya penelitian filologis bermutu yang
lahir dari para sarjana IAIN dan UIN. Padahal, out put dari sebuah
penelitian filologis seringkali bermanfaat bagi komunitas IAIN dan UIN
sendiri yang concern dengan ilmu-ilmu keagamaan.
Jika melihat sistem kurikulum yang kini berlaku di IAIN dan UIN,
baik di tingkat sarjana maupun pascasarjananya, dalam bidang filologi,
kita memang belum dapat berharap banyak. Mungkin, kini, setelah IAIN
Jakarta berubah menjadi Universitas, perhatian terhadap bidang studi
filologi oleh kalangan perguruan tinggi agama akan lebih baik.
Lebih-lebih lagi, dalam konteks UIN Jakarta misalnya, Fakultas
Adab sendiri kini sudah berubah nama menjadi Fakultas Adab dan
Humaniora; “embel-embel” Humaniora yang ditambahkan seharusnya
menambah pula perhatian terhadap bidang-bidang kajian ilmu budaya,
termasuk kajian pernaskahan ini. Di fakultas ini, selain jurusan Bahasa
dan Sastra Arab (BSA) dan Sejarah Peradaban Islam (SPI), jurusan
Tarjamah pun seharusnya dapat banyak berkiprah dalam kajian
pernaskahan, mengingat naskah-naskah keagamaan yang berbentuk
terjemahan juga tidak kurang banyaknya. Dari naskah-naskah terjemahan
tersebut, tentu saja banyak hal yang dapat digali, misalnya bagaimana
karakteristik dan gaya bahasa Melayu terjemahan yang digunakan oleh
para penulis naskah tersebut? Bagaimana pula jika dibandingkan dengan
karakteristik dan gaya bahasa Melayu atau bahasa Indonesia terjemahan
kontemporer?.
* Substansi makalah ini pernah disampaikan pada Workshop Pengembangan Agenda Riset,
yang diselenggarakan oleh Local Project Implementing Unit (LPIU) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, di Wisma YPI, Ciawi Bogor, 27 Maret 2000.
** Doktor dalam bidang kajian naskah di Universitas Indonesia; Peneliti pada Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.
Filologi dan Penelitian Teks-2 teks Keagamaan
Sejauh ini, hal-hal tersebut masih belum banyak terungkap. Bahkan,
di UIN Jakarta ini, di tingkat sarjana misalnya, —yang seharusnya
menjadi tangga pertama mengenalkan suatu disiplin ilmu— mata kuliah
filologi hanya diberikan di Fakultas Adab dan Humaniora pada satu
semester dengan bobot 3 sks, tanpa ditambah dengan beberapa mata
kuliah penunjang lainnya. Bandingkan misalnya dengan pengajaran
filologi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (sebelumnya Fakultas
Sastra) UI, khususnya jurusan sastra daerah. Di jurusan ini, pengenalan
atas filologi dimulai sejak semester pertama, dengan mata kuliah wajib
“Pengantar Filologi Umum”. Kemudian pada beberapa semester
berikutnya, secara berturut-turut diberikan materi tentang “Telaah
naskah”, “Pengkajian naskah”, yang menyangkut juga pembicaraan
tentang kodikologi (ilmu tentang naskah; kodeks) dan paleografi (ilmu
tentang tulisan), serta “Metode penelitian filologi”.
Dengan warming up yang “pas-pasan” itu, tidak heran jika di tingkat
sarjana UIN, hingga kini jumlah skripsi sebagai karya filologis tidak lebih
dari 15 buah, itu pun dengan kualitas yang “pas-pasan” pula (lihat
Fathurahman 1999b). Ditambah lagi semua skripsi filologis tersebut ditulis
dalam bahasa Arab —karena sejauh ini yang berminat melakukan
penelitian filologis hanya mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab—
yang, jujur saja, tidak banyak diakses oleh kalangan masyarakat luas,
setidaknya jika dibanding dengan bahasa Indonesia, atau Inggris
misalnya. Belum lagi, distribusi skripsi-skripsi tersebut berhenti sampai di
perpustakaan kampus semata, tanpa ada upaya menerbitkannya, karena
memang mutunya pas-pasan! Maka, lengkaplah sudah “kebekuan” karya
filologis tersebut sebagai “barang mati”, padahal —meminjam arkeolog
Christopher Tilley— salah satu tujuan penelitian atas artefak masa
lampau, semisal naskah, adalah “…to make the past come to life and have
contemporary relevance…”.
Mungkin kondisi demikian masih wajar untuk tingkat sarjana, toh
Perguruan Tinggi lain semisal UI pun belum mewajibkan mahasiswanya
pada strata ini untuk melakukan analisa secara lebih kritis. Akan tetapi,
ternyata di tingkat pascasarjana UIN, kondisinya “lebih buruk” lagi.
Sejauh yang saya ketahui, hingga saat ini, karya penelitian filologis berupa
disertasi, yang lahir dari “dapur” pascasarjana IAIN baru 1 buah, yaitu
disertasi yang ditulis oleh Prof. Dr. Nabilah Lubis (1992), yang mentahqiq
sebuah manuskrip karya Syaikh Yusuf Makassar, Zubdat Al-Asrar, dan
kemudian diterbitkan oleh EFEO, sebuah lembaga penelitian Prancis
perwakilan Jakarta, bekerjasama dengan Penerbit Mizan dan Fakultas
Sastra UI (bukan dengan UIN Press, misalnya). Itu pun harap maklum,
Prof. Nabilah Lubis tidak mendapatkan “bekal” penelitian filologisnya
dari IAIN, melainkan menyempatkan diri menyeberang ke, lagi-lagi, UI.
Sayangnya, Prof. Nabilah Lubis belum banyak melanjutkan kiprah
Oman Fathurahman 3
penelitiannya di bidang filologi, padahal, tugas-tugas untuk beliau bisa
dibilang sangat “bejibun”. Adapun dalam bentuk Tesis di tingkat
Magister, setidaknya yang saya ketahui, ada 2 buah, pertama Titi
Farhanah (1999), dan Helmi Yusuf (2000).
Bagi saya, kondisi ini terasa sangat ironis, terutama jika
mempertimbangkan betapa erat sesungguhnya keterkaitan dunia
pernaskahan —baik kandungan isi maupun fisik naskahnya— dengan
gaya keilmuan yang digeluti oleh civitas akademika UIN. Dari beberapa
penelitian filologis yang pernah dilakukan misalnya, banyak di antara
naskah-naskah tersebut yang dapat menjadi rujukan utama dalam
literatur keagamaan. Sekadar contoh, sebut saja Het Boek van Bonang oleh
B. J.O. Schrieke (1916), yang diterbitkan ulang sebagai The Admonitions of
Seh Bari oleh G. W.J. Drewes (1969), De Geschriften van Hamzah Pansoeri,
oleh Johan Doorenbosch (1933), Samms’l Din van Pasai: Bijdragen tot de
kennis der Soematraansche Mystiek oleh C. A. O. van Nieuwenhuijze (1945),
Twee Maleische geschriften van Nuruddin ar-Raniri oleh P. Voorhoeve (1955),
The Mysticism of Hamzah Fansuri oleh Naguib Al-Attas (1970), Asrar Al-
Insan fi Ma’rifa Ar-Ruh Wa ‘L-Rahman oleh Tudjimah (1961), Ruba’i Hamzah
Fansuri, Sastra Sufi Abad XVII, oleh A. Hasyimi (1976), Syamsuddin as-
Sumatrani Tokoh Wujudiyyah oleh T. Iskandar (1965), The Poems of Hamzah
Fansuri oleh G. W. J. Drewes & L. F. Brakel (ed.) (1986), Ratib Samman dan
Hikayat Syekh Muhammad Samman: Suntingan Teks dan Kajian Isi Teks oleh
Ahmad Purwadaksi (1992, tidak terbit), Zubdat Al-Asrar fi Tahqiq Ba’d
Masyarib Al-Akhyar Karya Syekh Yusuf Al-Taj: Suatu Kajian Filologi oleh
Nabilah Lubis (1992), yang terbit sebagai Syekh Yusuf Al-Taj: Menyingkap
Intisari segala Rahasia (1996), Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-
Qusyasyi, Tanggapan As-Sinkili Terhadap Doktrin Wujudiyyah di Aceh Abad
XVII: Suntingan Teks dan Analisis Isi oleh Oman Fathurahman (1998), yang
terbit sebagai Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh
Abad 17(1999a), dan beberapa karya lainnya.
Melimpahnya teks-teks keagamaan —terutama dengan unsur
tasawuf— ini memang tidak terlalu mengherankan, terutama jika
mengingat bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia hingga
dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi
manusia Indonesia dengan peradaban Islam yang oleh Edi Sedyawati
disebut sebagai salah satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di
Indonesia (lihat Sedyawati, “Menyikapi Warisan Budaya” dalam Media
Indonesia, 25 Maret 2000). Apalagi, diketahui bahwa sejak abad 13, bangsa
Indonesia telah didatangi oleh para ulama sufi yang dalam proses
penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini
tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang
mereka sampaikan kepada masyarakat setempat (lihat Azra 1995: 32).
Filologi dan Penelitian Teks-4 teks Keagamaan
Keterkaitan lainnya antara civitas akademika IAIN dengan dunia
pernaskahan, khususnya naskah-naskah keagamaan, adalah karena
sebagian besar mereka menguasai sebuah bahasa yang digunakan dalam
banyak naskah, bahasa Arab. Bayangkan, sejauh pengamatan yang pernah
dilakukan, naskah Nusantara berbahasa Arab berjumlah ribuan, baik yang
tersimpan di dalam maupun di luar negeri (untuk menelusuri keberadaan
naskah-naskah dalam 18 bahasa daerah Nusantara di seluruh dunia,
termasuk naskah Arab, lihat Chambert-Loir & Fathurahman 1999). Di
Perpustakaan Nasional Jakarta misalnya, terdapat tidak kurang dari 1000
buah naskah Arab (lihat Berg 1873, dan Ronkel 1913), sementara di Dayah
Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh, terdapat tidak kurang dari 400 naskah
(lihat Abdullah & M. Dahlan 1980). Dalam konteks keagamaan (baca:
Islam), naskah-naskah di Tanoh Abee ini layak mendapat perhatian
khusus, selain karena semuanya bersifat agama, ia juga semakin penting
karena mencerminkan dasar pendidikan agama di daerah Aceh pada abad
19. Di luar negeri, naskah-naskah Arab terdapat antara lain di
UniversiteitsBibliotheek, Leiden, Belanda, yaitu sekitar 5000 buah naskah
Arab (lihat Voorhoeve 1957 & 1980). Selain itu, —meskipun bercampur
dengan bahasa Melayu— terdapat sekitar 700-an naskah Arab di Muzium
Islam Kuala Lumpur, Malaysia (lihat Ibrahim Ismail & Osman Bakar
1992).
Penting dicatat bahwa jumlah tersebut belum termasuk naskahnaskah
milik pribadi yang banyak tersebar di kalangan masyarakat, yang
sayangnya sering tidak dapat diakses karena dianggap suci (baca:
keramat). Itu pun baru naskah berbahasa Arab, belum lagi naskah-naskah
dalam bahasa daerah Nusantara lainnya, seperti Melayu, Jawa, Sunda,
Aceh, Bali, Batak, Bugis-Makassar, dll. yang tidak jarang juga memuat
teks-teks keagamaan pula. Di Jawa Barat misalnya, produksi naskahnaskah
keagamaannya berkembang dengan sangat signifikan. Apalagi di
wilayah ini pula, tepatnya di daerah Pamijahan Tasikmalaya, berkembang
sebuah tradisi tarekat, yakni tarekat Syattariyyah, dengan Shaikh Abdul
Muhyi Pamijahan sebagai “suhu”nya, yang tentu saja telah menghasilkan
banyak teks keagamaan, baik yang berbahasa Arab, Sunda maupun Jawa.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Tommy Christomy (lihat Christomy
2001 dan 2003) menunjukkan, betapa naskah-naskah keagamaan yang ada
mampu memberikan gambaran atas dinamika dan perkembangan tarekat
Syatariyyah khususnya, dan Islam lokal di wilayah ini pada umumnya.
Ada hal lain yang juga penting dicermati. Khusus untuk penelitian
naskah-naskah Arab, di UI sendiri pun —yang telah akrab dengan kajian
pernaskahan sejak akhir paruh pertama abad 20— hingga terakhir saya
memeriksa, hanya tercatat tidak lebih dari 25 penelitian dalam bentuk
skripsi, 2 tesis, yaitu Fauzan Muslim (1996), Kunhu Ma La Budda Minhu
karya Ibnu Arabi, dan Fathurahman (1998), Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila
Oman Fathurahman 5
Tariq Al-Qusyasyi, karya Abdurrauf Singkel. Sedangkan untuk disertasi,
hanya satu buah, yaitu Purwadaksi (1992), dengan karyanya, Ratib
Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman. Bandingkan jumlah
penelitian tersebut dengan “bertumpuknya” naskah Arab seperti telah
kita bicarakan di atas!!!
Penelitian atas naskah-naskah tersebut tentu saja sangat penting
dilakukan; dan jangan lupa, mereka yang menguasai bahasa Arab
mempunyai kesempatan lebih untuk melakukannya. Dalam konteks
inilah sebenarnya para peneliti UIN, dan juga IAIN-IAIN lainnya, dapat
mengembangkan sayap penelitiannya di bidang pernaskahan untuk
memperkaya khazanah keilmuan mereka. Apalagi, dalam hal penelitian
pernaskahan, sumber dananya ternyata tidak terlalu sulit dicari. Sebut saja
misalnya Program Penggalakan Kajian Naskah-naskah Tertulis Nusantara
kerjasama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) dengan The
Ford Foundation, yang setiap tahunnya menyediakan dana praktis,
khusus untuk penelitian naskah, baik dalam rangka pencapaian gelar
akademik maupun penelitian bebas. Sejauh ini, lembaga tersebut tampak
sangat apresiatif terhadap berbagai penelitian yang berkaitan dengan
khazanah kebudayaan masa lampau, khususnya penelitian naskah.
Penelitian Filologi; Menjembatani Masa Lalu
Di atas, saya sengaja memulai tulisan ini dengan “ngalor-ngidul”
tentang kondisi objektif penelitian filologi di IAIN pada umumnya, dan
penelitian naskah-naskah Arab pada khususnya, tentu saja dengan satu
harapan bahwa para peneliti IAIN bisa sama-sama menyaksikan
kesenjangan antara kepentingan menjembatani masa lalu dengan
minimnya upaya yang telah dilakukan. Padahal sarjana sekaliber Cak
Nur, yang notabene merupakan ‘dedengkot’ IAIN sendiri, sering
mendorong untuk mengembangkan sikap al-muhâfazah ‘alâ al-qadîm ashshâlih
wa al-akhzu bi al-jadîd al-ashlah (tetap memelihara yang baik dari
masa lalu, seraya menyerap hal baru yang lebih baik).
Memang, pada dasarnya, yang penting dikembangkan bukanlah
semata-mata bentuk penelitian filologisnya, melainkan lebih pada
apresiasi kita terhadap naskah sebagai bagian dari masa lalu tersebut.
Karena, jika memungkinkan, bisa saja apresiasi terhadap naskah itu tidak
melalui kajian filologis, melainkan semata-mata dengan menjadikannya
sebagai sumber primer penelitian. Dalam konteks ini, saya sering
mencontohkan penelitian yang dilakukan Azyumardi Azra (1992).
Meskipun tidak melalui sebuah kajian filologis, akan tetapi dengan sangat
mengagumkan Azra berhasil memanfaatkan tidak kurang dari 28
manuskrip sebagai sumber primernya untuk menelusuri keterkaitan para
ulama Melayu-Indonesia dan “menjaringnya” dalam sebuah mata rantai
yang sangat panjang —dan tentu saja sangat signifikan— dengan para
Filologi dan Penelitian Teks-6 teks Keagamaan
ulama Timur Tengah abad 17 dan 18 (lihat Azra, 1994). Dari sini tampak
jelas bahwa penelitian naskah seringkali mampu membantu mengungkap
sebuah “misteri” yang sebelumnya tidak jelas “juntrungnya”.
Cara Kerja Penelitian Filologi
Sebuah penelitian filologis boleh dibilang berangkat dari sebuah
asumsi dasar mengenai karakteristik naskah-naskah lama sebagai heritage
yang diduga kuat banyak mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi,
adat-istiadat, dan budaya yang pernah ada, yang —ini yang paling
penting— dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian. Akan tetapi,
—sekaligus merupakan karakteristik berikutnya— nilai-nilai berharga
yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut, sayangnya, tertulis dalam
alas naskah, semisal kertas, dluwang, daun lontar, atau bambu, dengan
tinta di atasnya, yang biasanya akan rusak dimakan usia, sehingga
kerusakan fisik naskah sangat mungkin terjadi.
Selain itu, jika melihat tradisi penyalinannya, hampir semua naskah
yang kita jumpai bukan merupakan naskah asli yang ditulis langsung oleh
pengarangnya (otograf), melainkan hasil salinan yang kadang-kadang
dilakukan secara berulang-ulang. Tradisi penurunan naskah seperti inilah
yang kemudian menimbulkan apa yang disebut sebagai “varian” (teksteks
salinan), yang ternyata sangat rentan terhadap terjadinya perubahan,
baik yang disengaja maupun tidak disengaja, sehingga tidak jarang teks
yang kita jumpai sudah tidak setia lagi, tidak otentik, dan berbeda dari
teks aslinya.
Hal-hal inilah yang kemudian menjadi dasar kerja filologi; oleh
karenanya seorang filolog, selain bertugas untuk “membersihkan” teks
dari bentuk-bentuk korup dan salah, ia juga diharapkan mampu
“meluruskan” dan menelusuri otentisitas suatu teks, sehingga apa yang
kemudian dibaca oleh khalayak banyak, sesuai dengan, atau paling tidak
mendekati teks aslinya (lihat Robson 1988: 9-11).
Kendati demikian, dalam perkembangannya, berbagai variasi dan
atau perubahan yang terjadi akibat transmisi naskah tersebut tidak
selamanya dipandang sebagai suatu bentuk kesalahan, korup, atau suatu
bentuk keteledoran penyalin, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk
kreasi penyalin, yaitu hasil dari subjektifitasnya sebagai manusia
penyambut teks (resipien), yang menghendaki salinannya diterima oleh
pembaca sezamannya. Dengan cara pandang yang “lebih santun” ini,
variasi dipandang secara positif, dan tujuan penelitiannya pun bergeser
dari keharusan menemukan bentuk mula teks, atau yang paling dekat
dengannya, menjadi kajian untuk menemukan makna kreasi yang muncul
dalam variasi teks (lihat Baried dkk. 1994: 5-7).
Dengan berdasar pada asumsi bahwa peneliti sudah memutuskan
naskah apa yang akan dijadikan sebagai objek penelitiannya, biasanya,
Oman Fathurahman 7
sebuah penelitian filologis harus melalui beberapa tahapan berikut:
inventarisasi naskah, pemerian naskah, perbandingan naskah, kritik teks,
terjemahan (jika perlu), dan analisis isi.
Inventarisasi Naskah
Salah satu tujuan inventarisasi naskah adalah untuk mendaftarkan
semua naskah yang akan diteliti —selanjutnya akan saya sebut “naskah
penelitian”— di berbagai tempat penyimpanan naskah, seperti
perpustakaan, museum, dan kalau mungkin, pada koleksi perorangan.
Mendata keberadaan naskah penelitian ini tampaknya harus diupayakan
semaksimal mungkin, mengingat —seperti telah diisyaratkan di atas—
seringkali sebuah teks terdapat dalam beberapa salinan, sehingga
kekurangan teks yang satu bisa ditutupi oleh teks lainnya. Sebenarnya,
peneliti sekarang lebih beruntung dibanding para peneliti sebelumnya,
karena berbagai katalog naskah untuk mengetahui keberadaan naskah
penelitiannya sudah banyak ditulis. Persoalannya, di antara katalog
tersebut banyak yang berupa artikel dalam majalah langka semisal
Archipel, BKI, Caraka, NBG, dll. ataupun berbentuk stensilan yang tidak
dipublikasikan secara luas. Ditambah lagi, mutu dan tingkat perinciannya
sangat beraneka ragam. Oleh karenanya, sebelum membuka-buka
berbagai katalog tersebut, barangkali sebaiknya peneliti memulainya
dengan menelusuri “identitas” dan karakteristik katalog itu sendiri
melalui semacam “catalog of catalogues” yang juga telah beberapa kali
ditulis.
Khusus untuk menelusuri katalog naskah Melayu misalnya, peneliti
bisa memanfaatkan karya Chambert-Loir (1980), “catalogue des
catalogues de manuscrits malais”, yang dimuat dalam Archipel 20: 45-67.
Kemudian untuk naskah Jawa, van der Molen juga pernah menulis “A
Catalogue of Catalogues of Javanese MSS” dalam Caraka no. 4, April 1984:
12-49. Demikian halnya karya Ibrahim bin Ismail (1986), The Bibliographical
Control of MSS in Southeast Asian Languages: A Review of Sources of
Information, bisa digunakan untuk mengetahui semua bibliografi naskah
Indonesia. Selain itu, Roger Tol juga pernah mendaftarkan semua katalog
naskah Islam Indonesia dalam Geoffrey Roper (1994), World Survey of
Islamic MSS. Kemudian, Herman C. Kemp (1998) —meskipun tidak secara
spesifik membuat daftar bibliografi naskah— juga menulis entri
“manuscript” yang cukup memberikan kontribusi bagi dunia
pernaskahan. Sedangkan “catalogue of catalogues” yang paling mutakhir
adalah yang ditulis oleh Chambert-Loir & Fathurahman (1999), Khazanah
Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia Sedunia. Mungkin karena “lahir”
paling belakangan, karya yang disebut terakhir ini bisa dianggap sebagai
“catalogue of catalogues” terlengkap yang pernah ditulis, karena selain
memuat semua data pada karya sebelumnya, ia juga mencakup 18 bahasa
Filologi dan Penelitian Teks-8 teks Keagamaan
daerah di Nusantara, termasuk di dalamnya dua bahasa asing: Arab dan
Belanda.
Melalui berbagai katalog dan “catalogue of catalogues” di atas,
peneliti akan mendapatkan gambaran, berapa buah naskah yang akan
ditelitinya, dan di mana saja naskah-naskah itu berada. Jika beberapa, atau
bahkan mungkin semuanya, berada di luar negeri, peneliti bisa
mendapatkan kopinya, atau kopi dari mikrofilnya. Dari pengalaman
penelitian yang pernah saya lakukan, penting kiranya diperhatikan bahwa
ada kalanya antarkatalog itu menyebut judul yang berlainan untuk satu
teks yang sama. Selain itu, tidak jarang informasi mengenai keberadaan
suatu naskah tidak diperoleh dari katalog mana pun, melainkan dari
artikel yang ditulis oleh seseorang. Ketika meneliti sebuah naskah karya
Abdurrauf Sinkel, misalnya, naskah penelitian saya disebut oleh Berg
(1873) sebagai Tanbih al-Masyi, itu pun digolongkan di dalam 21 naskah
karya Syekh Yusuf Makassar, sedangkan katalog Ronkel (1913)
menyebutnya sebagai At-Tariqah Asy-Syatariyyah. Dua katalog ini pun
tidak menyebutkan keberadaan dua salinan naskah lainnya yang ternyata
berada di UniversiteitsBibliotheek, Leiden. Informasi terakhir ini justru
saya dapatkan dari tulisan Voorhoeve (1952), Bajan Tadjalli: gegevens voor
een nadere studie over Abdurrauf van Singkel”, TBG 85.
Pemerian Naskah
Tahap penelitian berikutnya adalah memetakan semua naskah yang
telah kita peroleh dengan memerikannya sedetail mungkin. Pemerian
naskah ini setidaknya bertujuan agar keadaan naskah diketahui “lahir
batin”, menyangkut kondisi fisik maupun kandungan isinya. Dengan
pemerian naskah ini peneliti juga akan dapat melakukan perbandingan
naskah, dan akhirnya menentukan naskah mana yang akan dijadikan
landasan. Ini tentu saja tidak berlaku jika naskah penelitiannya tunggal.
Biasanya, pemerian naskah mencakup data-data pokok berikut:p
ublikasi naskah, kode dan nomor naskah, judul naskah, pengarang,
penyalin, tahun penyalinan, tempat penyimpanan naskah, asal naskah,
pemilik, jenis alas naskah, kondisi fisik naskah, penjilidan, ada atau tidak
adanya cap kertas (watermark), ada atau tidak adanya garis tebal (chain
lines) dan garis tipis (laid lines), jarak antara garis tebal pertama sampai
keenam, jumlah garis tipis dalam satu sentimeter, ada atau tidak adanya
garis panduan yang ditekan (blind lines) atau penggarisan dengan tinta
dan pensil, jumlah kuras dan lembar kertas, jumlah halaman, jumlah baris
pada setiap halaman, panjang dan lebar halaman naskah dalam
sentimeter, panjang dan lebar teks dalam sentimeter, ada atau tidak
adanya penomoran halaman, ada atau tidak adanya alihan (catchword),
ada atau tidak adanya iluminasi dan ilustrasi, huruf dan bahasa yang
Oman Fathurahman 9
digunakan, jenis khat (tulisan) yang digunakan, warna tinta pada tulisan,
ringkasan isi setiap teks, serta catatan-catatan lain yang dianggap perlu.
Penting untuk dicatat, bahwa butir-butir di atas hanya dapat
diperikan secara maksimal pada naskah yang diketahui secara utuh
bentuk fisiknya. Sedangkan untuk naskah yang diperoleh dalam bentuk
mikrofilm, hanya beberapa saja yang dapat diterapkan.
Perbandingan Naskah
Pertimbangan dilakukannya perbandingan naskah (collatio) adalah
berangkat dari asumsi bahwa dalam tradisi penyalinan naskah yang
selalu berulang-ulang, hampir tidak ada penyalin yang mampu membuat
naskah salinan sama persis dengan aslinya, apalagi jika sebuah naskah
disalin dari naskah salinan yang lain. Hal ini membuka kemungkinan
timbulnya berbagai kesalahan atau perubahan yang pada akhirnya
menimbulkan berbagai variasi bacaan. Oleh karenanya, perbandingan
antarnaskah menjadi hal yang penting dilakukan dengan cara
membandingkan, memilih bacaan terbaik, memperbaiki kesalahankesalahan,
dan membakukan ejaannya (Robson, 1988: 18).
Perbandingan naskah ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
variasi bacaan pada setiap naskah yang diteliti, serta untuk menentukan
teks yang paling dapat dipertanggungjawabkan sebagai dasar edisi.
Adapun hal yang diperbandingkan dalam penelitian ini mencakup antara
lain: struktur teks, kandungan isi, serta bahasa dan ejaannya.
Kritik Teks
Kritik teks dapat dianggap sebagai salah satu tahap terpenting dari
sebuah penelitian filologi. Kata “kritik” itu sendiri bisa berarti ‘sikap
menghakimi dalam menghadapi sesuatu’ sehingga dapat berarti
‘menempatkan sesuatu sewajarnya’ atau ‘memberikan evaluasi’. Jadi,
kritik teks berarti ‘menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya,
memberikan evaluasi terhadap teks, serta meneliti atau mengkaji
lembaran naskah’ (Maas, 1972).
Dalam konteks filologi, kritik teks sering kali ditujukan untuk
mendapatkan bentuk teks yang asli, teks yang otentik, yang ditulis oleh
pengarang sendiri (otograf). Target seperti ini sebenarnya jarang sekali
terpenuhi, oleh karenanya, sebuah kritik teks paling tidak ditujukan untuk
dapat mencapai ketetapan teks (constitutio textus), yaitu teks tersebut bisa
sedekat mungkin dengan aslinya, bersih dari penyimpanganpenyimpangan
atau kekeliruan, sehingga ia bisa dianggap sebagai tipe
mula atau naskah arketip (archetypus). Kalau naskah arketip ini pun tidak
berhasil dijumpai, maka biasanya penelitian diarahkan untuk mencari
naskah tertua, yang selanjutnya dijadikan sebagai landasan penelitian. Hal
ini pernah dilakukan oleh L. F. Brakel ketika menyunting 30 naskah
Filologi dan Penelitian Teks-10 teks Keagamaan
Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Akan tetapi, penelusuran bentuk mula
atau asal usul teks ini juga akan semakin terabaikan jika penelitian itu
sendiri lebih menghargai variasi teks sebagai semata-mata bentuk
kreativitas penyalin, sehingga yang dicari bukan bentuk mula teks, tetapi
makna di balik keragaman itu.
Jika telah melewati tahap kritik teks, barulah sebuah naskah dapat
dimanfaatkan untuk berbagai penelitian disiplin ilmu lainnya, karena
pada dasarnya, ia telah dapat dipertanggungjawabkan secara filologis.
Dalam konteks ini, seorang filolog memang menjadi semacam “penjaga
gawang” dari kesahihan naskah-naskah tersebut.
Tentu saja, dalam masing-masing penelitian, langkah-langkah
praktis kritik teks ini bisa berbeda-beda, tergantung dari kondisi naskah
penelitiannya. Dan biasanya, kritik teks juga mencakup upaya
transliterasi, yaitu alih aksara dari jenis yang satu ke jenis yang lain.
Beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan dalam proses
transliterasi teks, antara lain:
a. Pemberian pungtuasi, titik, koma, titik koma, tanda hubung dan
pembagian paragraf, karena pada umumnya, sebuah teks kuna
tidak menggunakan tanda-tanda tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk memudahkan pemahaman isi teks.
b. Perbaikan teks, yang meliputi penggantian, penambahan, dan
penghapusan bacaan yang dianggap menyimpang. Bacaan
pengganti diusahakan berasal dari teks pendukung, dan jika tidak
dijumpai, maka bacaan langsung diperbaiki berdasarkan
kesesuaian dengan kaidah-kaidah baku, sedangkan bacaan teks
standar yang diganti, diletakkan dalam aparat kritik (semacam
footnote atau endnote). Dalam hal tidak adanya teks pendukung ini,
perbaikan teks —jika memang harus dilakukan— terkadang juga
‘terpaksa’ menggunakan intuisi yang tepat. Ini pernah dilakukan
oleh A. Teeuw c.s. ketika menyunting Siwaratrikalpa of Mpu
Tanakung. Sedangkan penambahan dilakukan pada bagian teks
yang tertinggal. Adanya bacaan yang tertinggal tersebut diketahui
dari kelengkapan teks pendukung yang sekaligus menjadi sumber
untuk bacaan yang ditambahkan. Sedangkan penghapusan
bacaan dilakukan pada bagian yang benar-benar dianggap
sebagai bacaan menyimpang dan diperkuat oleh teks pendukung,
atau merupakan pengulangan. Bagian bacaan yang dihapus ini
selanjutnya diletakkan dalam aparat kritik supaya tidak
mengganggu kelangsungan teks utama.
c. Kata dari teks pendukung ditulis dalam aparat kritik hanya jika
berbeda dengan kata pada teks standar.
Oman Fathurahman 11
Terjemahan
Terjemahan ini dilakukan jika bahasa teks berasal dari bahasa asing
seperti bahasa Belanda dan Arab, atau bahasanya dianggap tidak banyak
dikenal oleh khalayak umum, seperti bahasa-bahasa daerah, antara lain:
bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Wolio, dan lain-lain. Adapun untuk naskah
berbahasa Melayu misalnya, umumnya tidak diterjemahkan, melainkan
ditranskripsi (alih aksara).
Analisis Isi
Pada awal perkembangannya di Nusantara, penelitian filologi
sebenarnya tidak sampai pada tahap telaah isi teks, melainkan berhenti
pada tahap terjemahan, atau catatan-catatan kecil belaka. Upaya
terjemahan itu sendiri didorong oleh semakin dibutuhkannya
kemampuan berbahasa Melayu oleh kaum kolonial atau para misionaris,
yang mempunyai kepentingan untuk berkomunikasi langsung dengan
bangsa pribumi, atau yang bermaksud mengajarkan kitab Injil.
Beberapa abad berikutnya, yaitu mulai sekitar akhir paruh pertama
abad 19 hingga kurang lebih seratus tahun berikutnya, perhatian terhadap
naskah-naskah Nusantara mulai diberikan oleh para ahli filologi Eropa
yang berupaya untuk menyunting, membahas serta menganalisis isinya,
meskipun saat itu masih terbatas pada naskah Melayu dan Jawa. Beberapa
suntingan yang dihasilkan pada periode ini antara lain: Geschiedenis van
Sri Rama oleh Roorda van Eysinga (1843), Arjoena-Wiwaha dan Bomakarya
oleh Th. A. Friederich (1850), Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900), dan
beberapa teks Mahabharata oleh H.H. Juynboll (1906), dll.
Pada awalnya, minat untuk melakukan telaah atas naskah-naskah
Nusantara masih didominasi oleh para sarjana orientalis Barat saja,
khususnya para sarjana dari Belanda (Baried 1994: 45-48, Siti Hawa 1994:
1). Kegairahan para sarjana pribumi sendiri untuk mengkaji naskahnaskah
Nusantara tersebut kiranya baru muncul sesudah tahun 1965,
ketika mulai terjalin berbagai kerja sama penelitian antara perguruan
tinggi di Indonesia dengan sejumlah institusi di luar negeri. Sebelum itu,
kepakaran sarjana-sarjana pribumi di bidang pernaskahan ini belum
terbina. Achadiati Ikram bahkan menyebut zaman pendudukan Jepang
dan periode tahun 1959-1965 sebagai suatu periode kemandekan dalam
ilmu pengetahuan budaya (Ikram 1997: 2).
Memang, sebelum tahun 1965 tersebut juga telah tercatat, setidaknya
nama Hoesein Djajadiningrat dengan karyanya Beschouwing van de
Sadjarah Banten (1913), dan Poerbatjaraka dengan karyanya, antara lain
Arjuna-Wiwaha (1926) (lihat Baried 1994: 45-54, bandingkan dengan Ikram
1980: 36-37). Kedua sarjana pribumi ini telah menunjukkan minat
besarnya terhadap kajian naskah-naskah Nusantara, akan tetapi setelah
Filologi dan Penelitian Teks-12 teks Keagamaan
itu, hingga pertengahan tahun 1960-an tersebut, tidak banyak lagi sarjana
pribumi yang mengikuti jejak mereka.
Penting dicatat bahwa mulai awal tahun 1960-an pula, berbagai teori
sastra, seperti strukturalisme, intertekstualitas, resepsi, beserta tokohtokohnya,
mulai dikenal oleh kalangan perguruan tinggi, tak terkecuali
oleh para peminat kajian naskah. Maka, nama-nama seperti Robert Jausz,
Riffaterre, dan Roland Barthes pun, mulai mewarnai berbagai wacana
penelitian filologi masa itu (lihat Ikram 1997: 2).
Hal ini tentu saja sedikit banyak mengubah jenis pendekatan dalam
penelitian filologi. Jika sebelumnya, kajian naskah lebih diarahkan pada
suntingan teks, sejarah teks, dan pengungkapan bahasa atau ajaran yang
terkandung di dalamnya, maka setelah dikenalnya berbagai teori sastra
tersebut, para filolog —selain tetap melakukan suntingan teks—
mendapatkan piranti baru untuk mencari makna teks melalui suatu telaah
struktur karya (Siti Hawa 1994: 2).
Dalam era ini, penting disebut sejumlah sarjana yang menerapkan
pendekatan baru, khususnya dengan menerapkan teori strukturalisme,
dalam studi naskah tersebut, seperti Achadiati Ikram dengan
penelitiannya atas Hikayat Sri Rama (1979), Hikayat Hang Tuah (Sutrisno
1983), Partini Pradotokusumo dengan Kakawin Gajah Mada (1984; Selain
strukturalisme, dalam penelitiannya ini, Pradotokusumo juga sekaligus
menerapkan pendekatan intertekstual), Edwar Djamaris dengan Tambo
Minangkabau (1991), Nafron Hasyim dengan Kisasul Anbiya (1991), dan
beberapa sarjana lainnya.
Kemudian, contoh penelitian filologi yang menerapkan analisis
resepsi, antara lain: Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan
Analisis Resepsi (Soeratno 1988), Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa
Kuno lewat Tanggapan dan Penciptaaan di Lingkungan Sastra Jawa
(Wiryamartana 1990), dan Hikayat Meukuta Alam: Suntingan teks dan
terjemahan beserta telaah struktur dan resepsinya (Abdullah 1987) (lihat
Baried 1994: 50-54, dan Ikram 1997: 2-3).
Berbagai pendekatan teori sastra dalam mengkaji naskah-naskah
kuno tersebut tentu saja telah memberikan kontribusi besar terhadap
dunia pernaskahan khususnya, dan dunia keilmuan umumnya. Para
filolog menjadi lebih sistematis dalam upayanya menelusuri makna dan
fungsi naskah sebagai sebuah jenis sastra lama (Ikram 1997: 3). Hingga
kini, pendekatan kajian naskah dengan memanfaatkan berbagai teori
sastra tersebut masih menjadi kecenderungan umum (trend) yang banyak
diikuti oleh para pengkaji naskah generasi berikutnya.
Lebih dari itu, kajian naskah dengan menggunakan pendekatan
berbagai teori sastra tersebut juga tidak hanya dimanfaatkan oleh mereka
yang mengkaji naskah-naskah sastra, melainkan juga mereka yang
memilih naskah-naskah keagamaan, baik yang berbahasa Melayu
Oman Fathurahman 13
maupun Arab, sebagai objek penelitiannya. Di antara mereka adalah Amir
Fatah (1997), yang meneliti naskah tasawuf Al-îikam dengan pendekatan
teori strukturalisme dan Fauzan Muslim (1996), yang memilih naskah
tasawuf Ibnu ‘Arabi, Kunhu Mâ Lâ Budda Minhu, dengan pendekatan
hermeneutik.
Saya sendiri, ketika melakukan penelitian atas naskah Tanbîh al-
Mâsyî (1998), menerapkan kajian intertekstual untuk mengetahui makna
dan fungsi teks dalam konteks sosial historisnya. Dan sejauh penelitian
yang saya lakukan, pemanfaatan pendekatan intertekstual ini mampu
memaknai sebuah teks yang semula tampak ‘biasa-biasa’ saja. Saya
katakan demikian, karena pada dasarnya, secara intrinsik struktur teks
Tanbîh al-Mâsyî karangan Abdurrauf Singkel yang saya teliti itu tidak
berbeda dengan teks-teks tasawuf pada umumnya, yakni terdiri dari
ajaran akidah, syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Akan tetapi, melalui
kajian intertekstual —saat itu dengan beberapa teks tasawuf lain karangan
Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri—, ternyata apa yang diungkap
oleh Abdurrauf dalam teks ini menjadi lebih hidup, dan berbicara banyak
tentang dinamika pemikiran keagamaan pada masanya (lihat
Fathurahman 1999a).
Tampaknya, penerapan berbagai pendekatan tersebut dalam
penelitian filologi mendapat sambutan positif dari para peneliti, karena
dengan model tersebut, orientasi telaah filologi tidak kemudian terbatas
pada suntingan teks atau penelusuran otentisitas teks belaka, melainkan
lebih dari itu dapat merambah pada pengungkapan makna dan
fungsinya. Ini pada akhirnya juga akan semakin mendukung usaha
pemahaman serta penelusuran makna dan fungsi sastra lama itu sendiri.
Dan inilah sesungguhnya tugas utama seorang filolog, yaitu untuk
menyajikan naskah kuna agar dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh
pihak lain (Robson 1988: 40).
Sebagai konsekuensi dari adanya sikap ‘banting stir’ para peneliti
dalam memilih model analisis dalam penelitian filologi tersebut, memang
muncul semacam pergeseran cara pandang terhadap eksistensi sebuah
teks kuna, yang seringkali hadir dalam bentuknya sebagai salinan atau
turunan (arketip/hiparketip) dari teks aslinya (otograf).
Sebelumnya, penelitian filologi selalu menempatkan kepentingan
masalah keaslian teks sebagai prioritas utama, karena setiap perbedaan
(variant) yang muncul dalam teks salinan, selalu dipandang sebagai
bentuk kekeliruan dan penyimpangan yang harus diluruskan. Akan
tetapi, setelah wacana penelitian filologi diperkaya dengan berbagai
pendekatan teori sastra, cara pandang tersebut mulai ditinggalkan. Semua
teks, kini mendapat penghargaan sebagai hasil penciptaan suatu
masyarakat pada suatu zaman tertentu; berbagai perbedaan yang muncul
dalam teks pun kemudian dipandang positif sebagai bentuk resepsi dari
Filologi dan Penelitian Teks-14 teks Keagamaan
masyarakat pembacanya, yang memiliki kreatifitas dan jiwa
kepengarangan (tentang contoh penyalin sebagai pembaca dan
pengarang, lihat Chambert-Loir 1984). Tentu saja, alih pandang seperti ini
tidak serta merta berarti mengenyampingkan pentingnya penelusuran
sebuah teks dalam bentuk aslinya. Namun, kemandirian sebuah teks,
setidaknya kini mendapatkan apresiasi yang lebih besar.
Daftar Kepustakaan
Abdullah, Wamad & Tgk. M. Dahlan al-Fairusy, Katalog Manuskrip Perpustakaan
Pesantren Tanoh Abèe Aceh Besar, Buku I, Banda Aceh: PDIA, 48 hlm., stensil,
1980.
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala
Lumpur: University of Malaya Press, 1970.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, 1994.
Baried, Siti Baroroh dkk., Pengantar Teori Filologi, Yogyakarta: Badan Penelitian
dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada, cetakan II, 1994.
Berg, L. W. C. van den, Codicum Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et
Scientiarum Quae Bataviae Floret Asservatorum Catalogus, Batavia-Den Haag:
Wijt & Nijhoff, 1873.
Brakel, L.F. Hikayat Muhammad Hanafiyah, terjemahan oleh Junaidah Salleh,
Mokhtar Ahmad, dan Nor Azmah Shehidan, Malaysia: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1988.
Chambert-Loir, Henri, “catalogue des catalogues de manuscrits malais”, dalam
Archipel 20: 45-67, 1980.
-----------------, “Muhammad bakir; A Batavia Scribe and Author in the Nineteenth
Century”, Rima, 18, 1984.
Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi
Naskah Indonesia Sedunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, kerja sama dengan
EFEO, 1999.
Christomy, Tommy, “Shattariyyah Order in West Java: The Case of Pamijahan”,
Studia Islamika, vol. 8, no. 2, 2001, h. 55-82.
Christomy, Tommy, 2003, “Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in
Pamijahan, West Java”, disertasi di Australian National University.
Djamaris, Edwar “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” dalam Bahasa dan
Sastra, 1977.
Doorenbos, Johan, De Geschriften van Hamzah Pansoeri, Leiden: Batteljee &
Terpstra, 1933.
Drewes, G. W. J., “The Admonitions of She Bari; A 16th Century Javanese Muslim
Tekst Attributed to The Saint of Bonang”, reedited and translated with an
introduction. Bibliotheca Indonesica published by KITLV 4, The Hague, 1969.
Drewes, G. W. J. & Brakel, L. F., The Poems of Hamzah Fansuri, Netherlands: Foris
Publications Holland, 1986.
Oman Fathurahman 15
Fathurahman, Oman Tanbih Al-Masyi Al-Mansub Ila Tariq Al-Qusyasyi, Tanggapan
As-Sinkili Terhadap Doktrin Wujudiyyah di Aceh Abad XVII: Suntingan Teks dan
Analisis Isi, Tesis UI, 1998 (terbit sebagai Fathurahman 1999a).
-----------------, Tanbîh al-Mâsyî. Menyoal Wahdatul Wujud; Kasus Abdurrauf Singkel di
Aceh Abad 17, Bandung: Penerbit Mizan bekerja sama dengan EFEO, Jakarta,
1999a.
-----------------, “Penelitian Naskah-naskah Arab: Mengejar Ketinggalan” dalam
Al-Turas, Nomor 08, 1999b.
Hasjmi, A., Ruba’i Hamzah Fansuri, Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kualalumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1976.
Ibrahim bin Ismail, The Bibliographical Control of MSS in Southeast Asian Languages;
A Review of Sources of Information, Thesis submitted for fellowship of the
Library Association, IX-477 hlm., 1981, (tidak terbit).
Ibrahim Ismail, Engku & Osman Bakar, Bibliografi Manuskrip Islam di Muzium
Islam Malaysia, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya
dan Bahagian Hal Ehwal Islam, Jabatan Perdana Menteri, (Khazanah Siri
Dokumentasi Akademi Pengajian Melayu Bil 8), XI-236 hlm. (10 foto), 1992.
Ikram, Achadiati, “Kegiatan Filologi di Indonesia: Suatu Tinjauan Sejarah” dalam
Bahasa dan Sastra, tahun VI, no. 6, 1980.
-----------------, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Kemp, Herman. C., Bibliographies on Southeast Asia, Leiden: KITLV, XVII-1.128
hlm. (Bibliographical Series 22), 1998.
Lubis, Nabilah, Zubdat Al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib Al-Akhyar Karya Syekh
Yusuf Al-Taj; Suatu Kajian Filologi, disertasi IAIN, 1992, (terbit sebagai Lubis
1996).
-----------------, Syekh Yusuf Makassar: Menyingkap Intisari Segala Rahasia, Bandung:
Mizan, kerja sama dengan EFEO dan FSUI, 1996.
Maas, Paul, Textual Criticism, Oxford, 1960.
Molen, Willem van der, “A Catalogue of Catalogues of Javanese MSS” dalam
Caraka no. 4, April 1984: 12-49.
Muslim, Fauzan, Kunhu Ma La Budda Minhu, Tesis UI, 1996, (tidak terbit).
Nieuwenhuijze, C. A. O. van, Samms’l Din van Pasai: Bijdragen tot de kennis der
Soematraansche Mystiek, Leiden: Brill, 1945.
Purwadaksi, Ahmad, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman:
Suntingan Teks dan Kajian Isi Teks, disertasi UI, 1992 (tidak terbit).
Robson, S. O., Principles of Indonesian Philology, Leiden: Foris Publication, 1988.
Ronkel, Ph. S. van, Supplement to the Catalogue of Arabic Manuscripts Preserved in
the Museum of Batavia Society of Arts and Sciences, Batavia: Albrecht, 1913.
Sedyawati, Edi, “Menyikapi Warisan Budaya” dalam Media Indonesia, 25 Maret
2000.
-----------------, Naskah: Artinya Sebagai Sasaran Kajian dan Sebagai Warisan Budaya
Bangsa, sambutan dalam pembukaan Simposium Internasional Pernaskahan
Nusantara II, Manassa, Depok, 26 November 1998.
Tjandrasasmita, Uka, Beberapa Catatan Tentang Naskah-naskah Kuno Islami di
Indonesia, makalah dalam rangka Pameran Festival Istiqlal II di Jakarta, 23
September 1995.
Filologi dan Penelitian Teks-16 teks Keagamaan
Tol, Roger, “Indonesia” dalam Roper, Geoffrey (ed.) World Survey of Islamic MSS,
London: Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, Vol. 3.1994, h. 181-211.
Tudjimah, Asrar Al-Insan fi Ma’rifa Ar-Ruh Wa ‘L-Rahman, disertasi UI, 1961 (tidak
terbit).
Voorhoeve, P., Bajan Tadjalli: gegevens voor een nadere studie over Abdurrauf van
Singkel, TBG 85, 1952.
-----------------, Twee Maleische geschriften van Nuruddin ar-Raniri, Leiden: Brill, 1955.
-----------------, Handlist of Arabic Manuscripts in the Library of the University of Leiden
and Other Collection in the Netherlands, (Codices Manuscripti), Leiden
University Press/The Hague/Boston/London, 1980.

Minggu, 05 Desember 2010

SAPARAN

EKSISTENSI UPACARA ADAT SAPARAN DI TENGAH-TENGAH KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

I. PENDAHULUAN

Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, pada saat ini telah mendapatkan pengaruh yang beraneka macam. Pengaruh-pengaruh budaya asing telah banyak mengubah pola hidup generasi muda. Begitu pula dengan budaya-budaya adiluhung masyarakat Jawa, dimana pada saat ini, pelan tapi pasti, sudah mulai banyak ditinggalkan oleh generasi muda kita. Hal itu memang sulit untuk dihindari, dikarenakan pada era globalisasi seperti sekarang ini, dunia benar-benar global bak selembar daun kelor (pepatah). Peristiwa dunia selalu dapat kita ikuti keberadaannya dengan melihat/mendengar langsung penayangannya melaui media televisi/layar kaca. Semua itu dapat dinikmati dengan cepat dan mudah. Di dalam rumah, di dalam dapur sambil memasak atau bahkan dalam kamar kita sambil tiduran. Globalisasi benar-benar mampu menembus ruang, jarak dan waktu.
Apa sebenarnya kebudayaan itu? Menurut Koentjaraningrat (1984:1), kebudayaan adalah suatu hasil pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Maksud dari pernyataan di atas, yaitu kebudayaan tidak dapat dicetuskan dengan perasaan atau naluri, tapi untuk memutuskan suatu kebudayaan seseorang harus melalui proses belajar.
Masyarakat Jawa memiliki khasanah budaya yang sangat beragam. Mulai dari pakaian adat, tarian adat, makanan khas, bahasa, sampai pada upacara adat. Semua itu menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi. Namun, masihkah semua tradisi itu dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya sendiri (oleh masyarakat Jawa sendiri), ditengah era globalisasi sekarang ini?
Globalisasi tidak ubahnya sebuah perubahan. Globalisasi melanda gaya hidup manusia pada umumnya. Ini dapat terlihat dengan adanya kesamaan gaya hidup yang tercermin dalam budaya makan dan berpakaian sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya masyarakat Indonesia menggemari burger ala Amerika melalui restoran Mc Donald’s, ayam goreng Kentucky Fried Chicken, dan pizza Italia dari restoran Pizza Hut yang menjamur di kota-kota besar di Indonesia. Sebaliknya, bisa jadi gudheg, sop dan mie Indonesia digemari orang Jepang atau sayur asem disukai orang Inggris, dan sebagainya.
Dalam hal berpakaian, t-shirt dan jeans menjadi suatu mode pakaian yang mendunia karena memang digemari oleh kebanyakan orang, yang bukan hanya Indonesia. Demikian pula halnya dengan batik dan hasil produksi bordir Indonesia, kemungkinan diminati turis-turis mancanegara. Lalu bagaimana dengan tradisi upacara adat Jawa? Seberapa besar kiprah dan peranannya di era globalisasi ini? Masihkah harus dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya? Apakah generasi muda pada saat ini masih berminat mempelajarinya, sementara tidak dapat digunakan dalam pasar kerja? Bagaimana dengan budaya break dance disco, dan dugem (clubbing) yang banyak diminati dan digandrungi para remaja/generasi muda kita?
Di sebuah Desa, yaitu di Desa Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah, sampai saat ini masih dilaksanakan sebuah upacara adat, yaitu upacara adat Saparan. Ditengah era globalisasi sekarang ini, ternyata masyarakat Desa Tlogoguwo, masih melestarikan upacara adat Saparan. Apa dan bagaimanakah ritual yang ada dalam upacara Saparan itu? Adakah pergeseran arti ritual saparan itu bagi masyarakat setempat?
II. PEMBAHASAN
A. UPACARA ADAT SAPARAN

Budaya berasal dari kata buddhayah (Sansekerta) bentuk jamak dari kata buddhi “budi/akal. Jadi kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat dalam Sutardjo, 2008: 12). Keseluruhan isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya disebut mentalitet, tidak terlepas dari hubungannya dengan sistem nilai budaya. Sejalan dengan itu, upacara adat merupakan unsur/bagaian dari budaya. Menurut Koentjaraningrat (2004: 2), kebudayaan itu terdiri atas tujuh unsur, yaitu
1.    Sistem religi dan upacara keagamaan,
2.    Sistem dan oraganisasi kemasyarakatan,
3.    Sistem pengetahuan,
4.    Bahasa,
5.    Kesenian,
6.    Sistem mata pencaharian hidup,
7.    Sistem teknologi dan peralatan.
Koentjaraningrat (2004: 5) menambahkan bahwa kebudayaan itu pada dasarnya terdiri paling sedikit tiga wujud, yaitu
1.    Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,
2.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,
3.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Demikian juga dengan upacara adat Saparan, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Gogoluas, Desa Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo. Tradisisi saparan ini sudah dijalankan oleh masyarakat secara turun-turun temurun. Tradisi saparan ini dilaksanakan setiap bulan sapar (kalender Jawa), yaitu pada hari kemis kliwon. Hal itu sesuai dengan namanya, yaitu saparan yang berasal dari kata sapar ’bulan sapar’ sehingga dapat diartikan sebagai upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan sapar. Upacara saparan ini sebenarnya hampir sama dengan upacara merti dusun, yaitu upacara yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan.
B. RITUAL UPACARA ADAT SAPARAN
Ritual yang dilaksanakan pada upacara adat saparan itu terdiri atas dua upacara, yaitu upacara baritan yang dilanjutkan dengan pementasan wayang kulit.
1.    Upacara Baritan
Upacara baritan, adalah upacara yang dilaksanakan pada pagi hari, yaitu upacara yang dilaksanakan sebelum pementasan wayang kulit. Baritan, sebenarnya berasal dari kata bubar dan ngarit (jarwa dhosok), yaitu upacara yang dilaksanakan setelah warga selesai ngarit (merumput). Mayoritas mata pencaharian warga setempat adalah sebagai peternak dan petani. Pertanian warga Kaligesing sudah masuk dalam kategori maju, misalnya cengkih, durian, manggis, dan duku, yang semuanya telah masuk kelas ekspor.
Selain itu, warga juga mempunyai ternak andalan, yaitu berternak kambing peranakan Ettawa. Kambing hasil ternak warga ini juga merupakan unggulan pendapatan desa, bahkan menjadi salah satu pendapatan unggulan daerah kabupaten Purworejo. Kambing Peranakan Ettawa ini dulunya berasal dari India, tetapi kemudian oleh warga setempat dikawinsilangkan dengan kambing lokal, sehingga didapatkan keturunan yang kemudian dikenal dengan nama Kambing peranakan Ettawa (PE).
Upacara Baritan ini, adalah upacara selamatan bagi warga, agar hasil pertanian tetap bagus dan meningkat dan ternak masyarakat juga tetap meningkat. Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari, yaitu pada pukul 09.00 WIB, yaitu setelah warga selesai ngarit (merumput) bagi ternak-ternaknya. Adapun wujud upacara adalah semua ternak dan hasil pertanian masyarakat dikumpulkan pada sebuah lapangan (biasanya dihalaman rumah Kadus), yang kemudian didoakan secara bersama-sama. Adapun sesaji yang digunakan adalah berupa kembang dan air yang ditaruh dalam bokor. Selain itu terdapat juga Ambengan, dan kupat luwar. Pada saat ini, semua sesaji itu masih dilaksanakan, tetap mengalami modifikasi dalam hal doa yang dilaksanakan. Doa yang dilafalkan yaitu pada saat ini berupa tahlil, yang kemudian dilanjutkan dengan pengajian yang dipimpin oleh kaum setempat. Setelah upacara selesai, maka acara dilanjutkan dengan makan bersama-sama.
Keunikan pada upacara baritan ini adalah, setelah upacara selesai, maka air kembang yang telah didoakan tadi diperebutkan oleh warga, karena diyakini air kembang itu mempunyai tuah. Air kembang itu kemudian oleh warga diusapkan pada ternak-ternak, dan hasil pertanian mereka yang diyakini seteleh disapi dengan air kembang tadi maka akan menjadi berkah, yaitu ternak dan hasil tani itu akan menjadi laku/mberkahi.

2.    Wayangan
Prosesi terakhir dari upacara saparan itu adalah pementasan wayang kulit, yang dilaksanakan setelah upacara baritan selesai. Upacara ini dilaksanakan setelah pukul 12.00 WIB (setelah salat Dzuhur). Wayang kulit yang dipentaskan itu biasanya mengambil lakon Sri Mulih (Dewi Sri) yang memiliki makna sebagai Dewi Kesuburan tanah. Inti dari lakon ini adalah direbutnya Dewi Sri oleh Kurawa dari tangan Pandhawa. Cerita ini diakhiri dengan kembalinya Dewi Sri ke pangkuan para Pandhawa. Lakon ini jika dilihat sepintas sebenarnya merupakan lakon carangan, yaitu merupakan lakon yang dibuat oleh masyarakat setempat. Yang menjadi dalang wayang inipun adalah dalang yang dianggap sepuh, yang diyakini memiliki kemampuan lebih. Peranan dalang dalam masyarakat dikategorikan sebagai sesepuh atau tokoh yang dihormati karena mempunyai kelebihan yang luar biasa, sehingga untuk menghormatinya seorang diberi sebutan tambahan nama Kyai (Ki). Disamping pengetahuan dan keterampilan dalam olah cerita, gendhing, dan teknik pergelaran, seorang dalang dalam upacara saparan ini harus mempunyai pengetahuan gaib yang berupa doa-doa dan mantra-mantra, sehingga dalam tata cara tertentu seorang dalang dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi kejadian-kejadian yang penting dalam kehidupan masyarakat, misal adanya hama yang mengancam panen warga, malang-mujur nasib seseorang, dan juga keberhasilan sendiri sebagai seorang dalang (Victoria M Clara Van Gzroenandael dalam Hersapandi dkk (2005: 154). Namun, dewasa ini peran dalang semakin berkembang/luas, yaitu sebagai pendidik, juru penerang, pengajar moral dan propagandis. Mengingat peran yang besar itu, maka dalang yang dipilih dalam upacara Saparan ini dipilihlah dalang yang mengetahui, memahami dan menguasai segala ilmu pengetahuan terutama yang ada relevansinya dengan sub sistem masyarakat (Ismunandar dalam Hersapandi dkk, 2005: 155). Sampai saat ini dalang yang dipercaya oleh masyarakat Desa Gogoluas, adalah seorang dalang yang bernama Kyai (Ki) Cipto Sudiro, yaitu berasal dari Dusun Pagertengah, Desa Tlogoguwo, Kec, Kaligesing, Purworejo.

3.    EKSISTENSI UPACARA ADAT SAPARAN
Upacara saparan yang dilaksanakan pada saat ini sebenarnya sudah mengalami perubahan yang sangat besar. Perubahan itu seperti misalnya dalam hal sesaji yang digunakan, dan doa-doa yang dilantunkan juga telah mengalami perubahan.
Pada pementasan wayang, saat inipun telah mengalami perubahan. Sekarang ini, pementasan wayang ditambah jam pentasnya, yaitu pada malam hari diadakan pentas wayang lagi, yang bermakna sebagai hiburan bagi masyarakat dari jenuhnya beraktifitas sehari-hari. Bahkan pada pentas malamnya, sebelum dilaksanakan pentas wayang, biasanya diadakan pentas campur sari. Campur sari itu juga diselipkan pada acara limbukan dan gara-gara.
Upacara saparan yang dilaksanakan warga Dusun Gogoluas itu pada saat ini sebenarnya sudah mengalami pergeseran makna, yaitu sudah dikemas dlam rangka untuk pariwisata. Ha itu didasarkan pada daerah setempat yang memang banyak terdapat tempat pariwisata, khususnya wisata alam. Seperti misalnya wisata alam Goa Kiskenda, Goa Seplawan, dan juga dekat dengan Waduk Sermo (Kabupaten Kulon Progo).
 
REFERENSI

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.

                    . 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sutardjo, Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Hersapandi dkk. 2005. Suran: Antara Kuasa Tradidi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa