Senin, 13 Desember 2010

Kritik Novel Jawa

Kritik sastra novel “Tambal-Njawa” Djilid I (1965)
karya Widi Widajat


Pada saat membaca cerita fiksi, misalnya membaca sebuah novel, maka tanpa terasa kita akan ikut terhanyut oleh jalannya cerita. Seolah-olah pembaca ikut mengalami sendiri pada apa yang diceritakan olehpengarang (Sumardjo, 1984: 54). Seperti halnya pada saat membaca novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat, maka pembaca seolah-olah mengalami semua kejadian yang dialami oleh Sumitro (tokoh utama). Cerita yang bersetting di daerah pedesaan, yaitu di sebuah desa yang bernama Desa Minggiran, Imogiri, sebelah Selatan kota Yogyakarta, membawa pembaca ikut mengalami kehidupan di sebuah desa, yang bebas dari hingar bingar kehidupan kota. Hal itulah yang membentuk kepribadian/watak tokoh utama dalam cerita ini ( Sumitro), yaitu seorang pemuda yang baik hati dan penolong (walaupun menjadi orang yang terpelajar dan hidup di Kota Yogyakarta), yang identik dengan sifat pemuda disebuah pedesaan, dimana rasa sosial masih tertanam dalam dihatinya.
Cara penyampaian karakter/pelukisan karakter Sumitro dalam novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat tergolong baik, yaitu disampaikan secara tidak langsung (Sumardjo, 1984: 57). Karakter Sumitro dapat dilihat dari penggambaran tindak-tanduk Sumitro dalam cerita itu.
Alur cerita novel yang dibangun oleh pengarang sangat menarik. Seorang Sumitro, dalam novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat, menjadi tokoh yang sangat sentral, yaitu menjadi tokoh yang membangun alur cerita. Pada bagian awal, disajikan alur flashback (mundur), yaitu menceritakan tokoh Sumitro yang sedang membayangkan peristiwa yang menimpanya pada waktu masih kecil. Setelah itu, alur cerita disampaikan dengan alur maju, yaitu menceritakan kejadian demi kejadian yang terjadi pada Sumitro, sampai pada cerita dimana Suminarsih (istri Sumitro) meninggal dunia. Setelah itu, alur cerita kembali ke alur flashback, yaitu Sumitro kembali terpuruk dalam bayang-bayang peristiwa yang menimpa Ibunya, dimana peristiwa itu akhirnya juga menimpa pada istrinya, Suminarsih.
Tokoh-tokoh lain, yaitu Slamet (ayah Sumitro), Ibu Kandung Sumitro, Pak Wiro dan Bu Wiro, Suminarsih, Sungkono, Pak Djojo dan Bu Djojo (orangtua Suminarsih), anak kecil yang terbawa arus sungai (adik Suminarsih), dan para tetangga, mempunyai peran membantu tokoh sentral dalam membentuk sebuah alur. Plot yang disajikan oleh Widi Wijono ini, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sumardjo (1984: 54), yaitu watak/karakter yang bertujuan untuk membuat sebuah plot.
Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya secara implisit melalui cerita (Nurgiyantoro, 2009: 74). Adapun tema yang tedapat pada novel Tambel-Njawa adalah tentang religiusitas, yaitu adanya sikap menerima terhadap datangnya kematian. Makhluk hidup, pada dasarnya semua akan mati, hanya saja entah kapan waktu mati itu datang, entah nanti, besok, atau mungkin esoknya lagi, hanya Tuhanlah yang tahu tentang rahasia kematian itu.
Suasana dalam sebuah cerita, biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utama (Sumardjo, 1984: 54), dimana pembaca akan mengikuti tindak-tanduk dan kejadian yang menimpa tokoh utama, dan bersama tokoh utama pembaca ikut merasakan suasana cerita. Hal itu senada dengan suasana yang ada pada novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat, dimana kejadian-kejadian yang dialami Sumitro adalah sebagai pembangun suasana dalam novel itu.
Sudut pandang/point of view dalam novel “Tambal-Njawa” (Djilid I), menggunakan sudut pandang orang ketiga “Dia” (Nurgiyantoro, 2009: 256). Hal itu tampak pada penyebutan tokoh “Dia” (dalam novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat), yaitu tokoh Sumitro yang sering sekali disebut.
Ora suwe maneh lawanging kamar menga. Sawijining bidan metu, dipetukake dening Sumitro karo pitakone gugup:” Dospundi Jeng, wilujeng?”
Bidan mau nyawang marang Sumitro, nuli wangsulane: “Wilujeng, keng putra kakung.”
Guwayane Sumitro sumringah, nuli pitakone maneh: “Ibunepun dos pundi, kepareng kula nuweni?”
“Kenging Mas, namung kemawon sekedhap. Keng rayi taksih sare”.
Sumitro raos mlengak oleh wangsulan kang mangkono, ibu kang mentas babaran kok sare. Kaya mongkono iku aneh.
(Widayat, 1966: 27)

Cerita yang dikisahkan secara berselang-seling antara showing dan telling, narasi dan dialog, menyebabkan cerita menjadi lancar, hidup, dan natural. Hal itulah yang dianggap sebagai kelebihan tehknik sudut pandang orang ketiga, yaitu “Dia”. (Nurgiyantoro, 2009: 257)

Pesan moral yang disampaikan oleh pengarang pada novel “Tambal-Njawa” (Djilid I), disampaikan secara tidak langsung ((Nurgiyantoro, 2009: 339), pesan moral itu disampaikan tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Adapun pesan moral yang tersirat dalam novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat adalah sebagai berikut:
a. Menghargai dan menghormati orang tua angkat selayaknya orang tua kandung, dalam novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat, penghargaan Sumitro terhadap orang tua angkatnya, yaitu Pak Wiro dan Bu Wiro yang telah merawatnya sejak dia kecil, sampai dia besar.
b. Menerima bahwa hidup dan mati manusia itu sepenuhnya berada dalam kehendak Tuhan. Seperti halnya Sumitro yang akhirnya bisa menerima ihwal kematian ibunya, yang ternyata juga menimpa istrinya, Suminarsih.


Sinopsis novel “Tambal-Njawa” (Djilid I) karya Widi Widajat

Sumitra, seorang pemuda desa yang sedang melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada. Keluarga Wirosantosa, yang tinggal di Desa Minggiran, Imogiri, sebelah Selatan kota Yogyakarta, menjadikan Sumitra sebagai anak angkat. Karena disamping kelularga Wirosantosa tidak mempunyai anak, Sumitra ditinggal mati oleh ibunya pada saat melahirkannya. Sedangkan ayah Sumitra, pergi meninggalkannya karena tidak kuat dengan keadaan yang menimpa istrinya.
Pada suatu hari, pada saat Sumitra dan temannya Sungkono sedang melihat lihat sebuah sungai Pucung yang sedang banjir, ada seorang anak kecil yang terhanyut di sungai itu. Dengan spontanitas, Sumitra langsung menceburkan diri ke Sungai untuk menolong anak itu, dan akhirnya anak itu selamat dari kematian.
Peristiwa itu, ternyata menjadi sebab bertemunya Sumitra dengan gadis yang bernama Suminarsih. Orang tua angkat Sumitra dan orang tua Suminarsih akhirnya sepakat untuk menikahkan keduanya, yang memang keduanya sama-sama sudah saling mencintai.
Hari-hari indah setelah pernikahan sangat dinikmati oleh Sumitra dan Suminarsih. Pernikahan itu semakin dirasa indah tatkala Suminarsih mengandung buah hati pernikahannya dengan Sumitra. Namun, kebahagiaan itu lenyap dalam sekejap, karena Suminarsih mengalami peristiwa yang sama dengan yang menimpa ibu kandung Sumitra. Suminarsih menyusul meninggal dunia pada saat melahirkan anak yang dikandungnya.
Meninggalnya Suminarsih membuat jiwa Sumitra tergoncang. Akhirnya dengan berkaca dari pengalaman hidupnya, Sumitra tersadar dari goncangan psikis yang menimpanya. Sumitra tersadar, dan akhirnya menerima dengan ikhlas atas meninggalnya Suminarsih. Sumitra berjanji pada dirinya untuk tetap hidup, demi masa depan buah hatinya.
------****-----

REFERENSI

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumardjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusateraan. Bandung: Alumni Bandung.

Widajat, Widi. 1966. Tambel Njawa (Jilid I). Sala: CV Kuda Mas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar