Minggu, 05 Desember 2010

SAPARAN

EKSISTENSI UPACARA ADAT SAPARAN DI TENGAH-TENGAH KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

I. PENDAHULUAN

Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, pada saat ini telah mendapatkan pengaruh yang beraneka macam. Pengaruh-pengaruh budaya asing telah banyak mengubah pola hidup generasi muda. Begitu pula dengan budaya-budaya adiluhung masyarakat Jawa, dimana pada saat ini, pelan tapi pasti, sudah mulai banyak ditinggalkan oleh generasi muda kita. Hal itu memang sulit untuk dihindari, dikarenakan pada era globalisasi seperti sekarang ini, dunia benar-benar global bak selembar daun kelor (pepatah). Peristiwa dunia selalu dapat kita ikuti keberadaannya dengan melihat/mendengar langsung penayangannya melaui media televisi/layar kaca. Semua itu dapat dinikmati dengan cepat dan mudah. Di dalam rumah, di dalam dapur sambil memasak atau bahkan dalam kamar kita sambil tiduran. Globalisasi benar-benar mampu menembus ruang, jarak dan waktu.
Apa sebenarnya kebudayaan itu? Menurut Koentjaraningrat (1984:1), kebudayaan adalah suatu hasil pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Maksud dari pernyataan di atas, yaitu kebudayaan tidak dapat dicetuskan dengan perasaan atau naluri, tapi untuk memutuskan suatu kebudayaan seseorang harus melalui proses belajar.
Masyarakat Jawa memiliki khasanah budaya yang sangat beragam. Mulai dari pakaian adat, tarian adat, makanan khas, bahasa, sampai pada upacara adat. Semua itu menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi. Namun, masihkah semua tradisi itu dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya sendiri (oleh masyarakat Jawa sendiri), ditengah era globalisasi sekarang ini?
Globalisasi tidak ubahnya sebuah perubahan. Globalisasi melanda gaya hidup manusia pada umumnya. Ini dapat terlihat dengan adanya kesamaan gaya hidup yang tercermin dalam budaya makan dan berpakaian sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya masyarakat Indonesia menggemari burger ala Amerika melalui restoran Mc Donald’s, ayam goreng Kentucky Fried Chicken, dan pizza Italia dari restoran Pizza Hut yang menjamur di kota-kota besar di Indonesia. Sebaliknya, bisa jadi gudheg, sop dan mie Indonesia digemari orang Jepang atau sayur asem disukai orang Inggris, dan sebagainya.
Dalam hal berpakaian, t-shirt dan jeans menjadi suatu mode pakaian yang mendunia karena memang digemari oleh kebanyakan orang, yang bukan hanya Indonesia. Demikian pula halnya dengan batik dan hasil produksi bordir Indonesia, kemungkinan diminati turis-turis mancanegara. Lalu bagaimana dengan tradisi upacara adat Jawa? Seberapa besar kiprah dan peranannya di era globalisasi ini? Masihkah harus dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya? Apakah generasi muda pada saat ini masih berminat mempelajarinya, sementara tidak dapat digunakan dalam pasar kerja? Bagaimana dengan budaya break dance disco, dan dugem (clubbing) yang banyak diminati dan digandrungi para remaja/generasi muda kita?
Di sebuah Desa, yaitu di Desa Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah, sampai saat ini masih dilaksanakan sebuah upacara adat, yaitu upacara adat Saparan. Ditengah era globalisasi sekarang ini, ternyata masyarakat Desa Tlogoguwo, masih melestarikan upacara adat Saparan. Apa dan bagaimanakah ritual yang ada dalam upacara Saparan itu? Adakah pergeseran arti ritual saparan itu bagi masyarakat setempat?
II. PEMBAHASAN
A. UPACARA ADAT SAPARAN

Budaya berasal dari kata buddhayah (Sansekerta) bentuk jamak dari kata buddhi “budi/akal. Jadi kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat dalam Sutardjo, 2008: 12). Keseluruhan isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya disebut mentalitet, tidak terlepas dari hubungannya dengan sistem nilai budaya. Sejalan dengan itu, upacara adat merupakan unsur/bagaian dari budaya. Menurut Koentjaraningrat (2004: 2), kebudayaan itu terdiri atas tujuh unsur, yaitu
1.    Sistem religi dan upacara keagamaan,
2.    Sistem dan oraganisasi kemasyarakatan,
3.    Sistem pengetahuan,
4.    Bahasa,
5.    Kesenian,
6.    Sistem mata pencaharian hidup,
7.    Sistem teknologi dan peralatan.
Koentjaraningrat (2004: 5) menambahkan bahwa kebudayaan itu pada dasarnya terdiri paling sedikit tiga wujud, yaitu
1.    Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,
2.    Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,
3.    Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Demikian juga dengan upacara adat Saparan, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Gogoluas, Desa Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo. Tradisisi saparan ini sudah dijalankan oleh masyarakat secara turun-turun temurun. Tradisi saparan ini dilaksanakan setiap bulan sapar (kalender Jawa), yaitu pada hari kemis kliwon. Hal itu sesuai dengan namanya, yaitu saparan yang berasal dari kata sapar ’bulan sapar’ sehingga dapat diartikan sebagai upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan sapar. Upacara saparan ini sebenarnya hampir sama dengan upacara merti dusun, yaitu upacara yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan.
B. RITUAL UPACARA ADAT SAPARAN
Ritual yang dilaksanakan pada upacara adat saparan itu terdiri atas dua upacara, yaitu upacara baritan yang dilanjutkan dengan pementasan wayang kulit.
1.    Upacara Baritan
Upacara baritan, adalah upacara yang dilaksanakan pada pagi hari, yaitu upacara yang dilaksanakan sebelum pementasan wayang kulit. Baritan, sebenarnya berasal dari kata bubar dan ngarit (jarwa dhosok), yaitu upacara yang dilaksanakan setelah warga selesai ngarit (merumput). Mayoritas mata pencaharian warga setempat adalah sebagai peternak dan petani. Pertanian warga Kaligesing sudah masuk dalam kategori maju, misalnya cengkih, durian, manggis, dan duku, yang semuanya telah masuk kelas ekspor.
Selain itu, warga juga mempunyai ternak andalan, yaitu berternak kambing peranakan Ettawa. Kambing hasil ternak warga ini juga merupakan unggulan pendapatan desa, bahkan menjadi salah satu pendapatan unggulan daerah kabupaten Purworejo. Kambing Peranakan Ettawa ini dulunya berasal dari India, tetapi kemudian oleh warga setempat dikawinsilangkan dengan kambing lokal, sehingga didapatkan keturunan yang kemudian dikenal dengan nama Kambing peranakan Ettawa (PE).
Upacara Baritan ini, adalah upacara selamatan bagi warga, agar hasil pertanian tetap bagus dan meningkat dan ternak masyarakat juga tetap meningkat. Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari, yaitu pada pukul 09.00 WIB, yaitu setelah warga selesai ngarit (merumput) bagi ternak-ternaknya. Adapun wujud upacara adalah semua ternak dan hasil pertanian masyarakat dikumpulkan pada sebuah lapangan (biasanya dihalaman rumah Kadus), yang kemudian didoakan secara bersama-sama. Adapun sesaji yang digunakan adalah berupa kembang dan air yang ditaruh dalam bokor. Selain itu terdapat juga Ambengan, dan kupat luwar. Pada saat ini, semua sesaji itu masih dilaksanakan, tetap mengalami modifikasi dalam hal doa yang dilaksanakan. Doa yang dilafalkan yaitu pada saat ini berupa tahlil, yang kemudian dilanjutkan dengan pengajian yang dipimpin oleh kaum setempat. Setelah upacara selesai, maka acara dilanjutkan dengan makan bersama-sama.
Keunikan pada upacara baritan ini adalah, setelah upacara selesai, maka air kembang yang telah didoakan tadi diperebutkan oleh warga, karena diyakini air kembang itu mempunyai tuah. Air kembang itu kemudian oleh warga diusapkan pada ternak-ternak, dan hasil pertanian mereka yang diyakini seteleh disapi dengan air kembang tadi maka akan menjadi berkah, yaitu ternak dan hasil tani itu akan menjadi laku/mberkahi.

2.    Wayangan
Prosesi terakhir dari upacara saparan itu adalah pementasan wayang kulit, yang dilaksanakan setelah upacara baritan selesai. Upacara ini dilaksanakan setelah pukul 12.00 WIB (setelah salat Dzuhur). Wayang kulit yang dipentaskan itu biasanya mengambil lakon Sri Mulih (Dewi Sri) yang memiliki makna sebagai Dewi Kesuburan tanah. Inti dari lakon ini adalah direbutnya Dewi Sri oleh Kurawa dari tangan Pandhawa. Cerita ini diakhiri dengan kembalinya Dewi Sri ke pangkuan para Pandhawa. Lakon ini jika dilihat sepintas sebenarnya merupakan lakon carangan, yaitu merupakan lakon yang dibuat oleh masyarakat setempat. Yang menjadi dalang wayang inipun adalah dalang yang dianggap sepuh, yang diyakini memiliki kemampuan lebih. Peranan dalang dalam masyarakat dikategorikan sebagai sesepuh atau tokoh yang dihormati karena mempunyai kelebihan yang luar biasa, sehingga untuk menghormatinya seorang diberi sebutan tambahan nama Kyai (Ki). Disamping pengetahuan dan keterampilan dalam olah cerita, gendhing, dan teknik pergelaran, seorang dalang dalam upacara saparan ini harus mempunyai pengetahuan gaib yang berupa doa-doa dan mantra-mantra, sehingga dalam tata cara tertentu seorang dalang dapat memberikan kekuatan untuk menghadapi kejadian-kejadian yang penting dalam kehidupan masyarakat, misal adanya hama yang mengancam panen warga, malang-mujur nasib seseorang, dan juga keberhasilan sendiri sebagai seorang dalang (Victoria M Clara Van Gzroenandael dalam Hersapandi dkk (2005: 154). Namun, dewasa ini peran dalang semakin berkembang/luas, yaitu sebagai pendidik, juru penerang, pengajar moral dan propagandis. Mengingat peran yang besar itu, maka dalang yang dipilih dalam upacara Saparan ini dipilihlah dalang yang mengetahui, memahami dan menguasai segala ilmu pengetahuan terutama yang ada relevansinya dengan sub sistem masyarakat (Ismunandar dalam Hersapandi dkk, 2005: 155). Sampai saat ini dalang yang dipercaya oleh masyarakat Desa Gogoluas, adalah seorang dalang yang bernama Kyai (Ki) Cipto Sudiro, yaitu berasal dari Dusun Pagertengah, Desa Tlogoguwo, Kec, Kaligesing, Purworejo.

3.    EKSISTENSI UPACARA ADAT SAPARAN
Upacara saparan yang dilaksanakan pada saat ini sebenarnya sudah mengalami perubahan yang sangat besar. Perubahan itu seperti misalnya dalam hal sesaji yang digunakan, dan doa-doa yang dilantunkan juga telah mengalami perubahan.
Pada pementasan wayang, saat inipun telah mengalami perubahan. Sekarang ini, pementasan wayang ditambah jam pentasnya, yaitu pada malam hari diadakan pentas wayang lagi, yang bermakna sebagai hiburan bagi masyarakat dari jenuhnya beraktifitas sehari-hari. Bahkan pada pentas malamnya, sebelum dilaksanakan pentas wayang, biasanya diadakan pentas campur sari. Campur sari itu juga diselipkan pada acara limbukan dan gara-gara.
Upacara saparan yang dilaksanakan warga Dusun Gogoluas itu pada saat ini sebenarnya sudah mengalami pergeseran makna, yaitu sudah dikemas dlam rangka untuk pariwisata. Ha itu didasarkan pada daerah setempat yang memang banyak terdapat tempat pariwisata, khususnya wisata alam. Seperti misalnya wisata alam Goa Kiskenda, Goa Seplawan, dan juga dekat dengan Waduk Sermo (Kabupaten Kulon Progo).
 
REFERENSI

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.

                    . 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sutardjo, Imam. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Hersapandi dkk. 2005. Suran: Antara Kuasa Tradidi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa

3 komentar:

  1. Assalamualaikum wr wb

    Pak, silakan transit di halaman web saya
    http://www.kak-akhi.co.cc/


    Achmad Fadil (5C)
    Bahasa & Sastra Jawa (UMP)

    BalasHapus
  2. sipp.......dolan neng sastrajawa.com, mas bro.....

    BalasHapus